Aku Ronny, saat masih kuliah aku memiliki sahabat karib namanya Mona, dari Sumatera, ia menumpang di rumah tantenya. Cerita Sex ini Kebetulan antara aku serta Mona memiliki hobby yang sama, naik gunung, lintas alam, atletik, lempar lembing. Aku kerap bertandang ke rumahnya, kian lama kian kerap. Sebab aku pula naksir sama Rita, adik sepupu Mona ataupun anak tantenya. Walaupun aku telah jadi akrab dengan keluarganya, tetapi Rita tidak kunjung kupacari.
Sehabis berakhir SMA Mona melanjutkan riset di Kota lain, tetapi saya berupaya buat bertandang ke rumah Rita, tetapi tidak sering ketemu. Tetapi ekspedisi waktu memastikan lain untuk Rita, bapaknya yang wakil rakyat itu wafat. Saat ini ini ibunya mencari nafkah sendiri dengan memegang sebagian perusahaannya yang memanglah telah dirintis lumayan lama, saat sebelum terpilih jadi wakil rakyat.
Harapanku memacari Rita senantiasa terdapat di dada, meski dikala saya berkunjung, malah bu Ita( ibunya Rita/ tantenya Mona) yang kerap menemuiku. sebab Rita terdapat banyak aktivitas di Jakarta, sehubungan dengan keikutsertaannya dalam sekolah presenter di suatu stasion televisi swasta di situ. Tetapi sesungguhnya jika ingin jujur Rita masih kalah dengan ibunya.
Bu Ita lebih menawan., kulitnya lebih putih bersih, berusia serta tenang pembawaannya. Sedangkan Rita agak sawo matang, nurun bapaknya kali? Seandainya Rita semacam ibunya yang tenang pembawaannya, keibuan serta penuh atensi, baik pula. Saat ini, di rumah yang lumayan elegan itu cuma terdapat bu Ita serta seseorang pembantu. Mona telah tidak di sana, sedangkan Rita sekolah di ibukota, paling- paling seminggu kembali.
Kesimpulannya aku di suruh bu Ita buat menolong selaku karyawan tidak senantiasa mengelola perusahaannya. Untungnya aku mempunyai keahlian di bidang pc serta manajemennya, yang aku tekuni semenjak SMA. Sehabis mengenal manajemen industri bu Ita kemudian aku menawari program akuntansi serta keuangan dengan pc, serta bu Ita sepakat serta bahagia.
Merancang anggaran proyek yang ditangani perusahaannya, dsb. Aku menggemari pekerjaan ini. Yang jelas dapat menaikkan duit saku aku, dapat buat menolong kuliah, yang dikala itu baru semester 2. Bu Ita berikan honor lebih dari lumayan bagi aku. Pegawai bu Ita ada 3 wanita di kantor, tambah aku, belum tercantum di lapangan. Aku kerap bekerja sehabis kuliah, sore sampai malam hari, tiba menjelang pegawai yang lain kembali. Itupun jika terdapat proyek yang wajib dikerjakan.
Part time begitu. Untuk aku ini cuma kerja sambilan tetapi dapat menaikkan pengalaman. Sebab ikatan kerja antara majikan serta pegawai, ikatan aku dengan bu Ita terus menjadi akrab. Semula sih biasa saja, lama- lama semacam teman, curhat, serta sebagainya. Saya kerap dinasehati, apalagi saking akrabnya, bercanda, aku kerap pegang tangannya, mencium tangan, pasti saja tanpa dikenal rekan kerja yang lain.
Serta rupanya ia bahagia. Tetapi saya senantiasa melindungi kesopanan. Pengalaman ini yang mendebarkan jantungku, betapapun serta siapapun bu Ita, ia sanggup menggetarkan dadaku. Meski telah lumayan usia perempuan ini senantiasa jelita.
Aku kira siapapun orangnya tentu berkata orang ini menawan apalagi menawan sekali. Ia juga pandai menjaga badan, sebab terdapat dana buat itu, giat fitnees, di rumah disediakan perlengkapannya. Jika lagi fitnees mengenakan baju fitnees ketat sangat nikmat ditatap. Ini telah aku tahu semenjak aku SMA dahulu, tetapi sebab aku kepingin mendekati Rita, hal itu aku kesampingkan.
Data- data individu bu Ita aku ketahui betul sebab kerap mengerjakan biodata berkaitan dengan proyek- proyeknya. Tingginya 161 centimeter, umurnya dikala cerita ini terjalin 37 tahun, 5 bulan serta berat tubuhnya 52 kilogram. Lumayan sempurna. Pada sesuatu hari aku lembur, karena terdapat pekerjaan proyek serta paginya wajib didaftarkan buat diikutkan tender.
Jam 22. 00 pekerjaan belum berakhir, tetapi saya agak terhibur bu Ita ingin menemaniku, sembari mengecek pekerjaanku. Ia lumayan cermat. Jika kerja lembur begini dia malah kerap bercanda. Apalagi jika minumanku habis ia tidak segan- segan yang menuang kembali, saya malah jadi kikuk.
Ia tidak enggan pegang tanganku, mencubit, tetapi saya tidak berani membalas. Terlebih apabila lagi mencubit dadaku saya sama sekali tidak hendak membalas. Serta yang lumayan surprise tanpa ragu memijit- pijit bahuku dari balik.
“ Letih ya..? Aku pijit, nih”, katanya.
Komentar
Posting Komentar